Firasat
Hari itu tanggal 12 Oktober 2004 sekitar pukul 16.00 (sore) Waktu Malaysia, tiba-tiba ada perasaan aneh, nggak enak dan ada getaran “lembut” pada tubuhku. Tanganku gemetar. Jadi, aku hentikan dulu kerjaan ku (memotong huruf di karton buat banner/spanduk). Kutanyakan pada Kori temanku soal apa yang kurasakan, kebetulan dia ada di dekatku. Kami tidak menemukan jawabannya. Aku pun tidak terlalu menanggapinya dengan serius. Besok paginya, sehabis shalat shubuh, aku terima sms dari Keluarga di Palembang, yang mengabarkan kalau Ayahku masuk rumah sakit kemarin selepas magrib, aku mencoba untuk tetap tenang. Aku tidak ingin orang lain tahu, khawatir nanti teman-temanku ikut cemas. Aku berusaha untuk tidur lagi, tapi ternyata sulit untuk tidur lagi, yang ada dalam pikiranku udah tidak tenang. Pasalnya, kalau ayahku sampai masuk rumah sakit, itu berarti sudah lumayan parah.
Itulah salahnya, mestinya aku udah mengira, pasalnya udah dua kali aku telepon ke rumah, biasanya ayah yang pertama angkat telepon dan ngobrol-ngobrol cukup lama, tapi waktu itu tidak, waktu ku tanya, ibu bilang Ayah lagi sakit biasa. Waktu dengar itu aku sempat cerita sama dwi temanku, karena aku minta tolong nemenin aku beli Ring-Ring Card (Kartu Telepon semacam Beken keluaran Telkom kalau di Indonesia), karena waktu itu obrolan terputus. Jadi, terakhir aku ngobrol dengan ayahku pada malam hari kemerdekaan
Sewaktu ayahku menulis
Makanya, beberapa tahun yang lalu, aku memutuskan untuk mulai menulis, meski belum menjadi penulis professional seperti profesi ayahku yang seorang wartawan, kayaknya “darah” menulis ayahku turun padaku ^-^. Ku berharapn apa yang ku tulis bisa bermanfaat bagi diriku, maupun orang lain, baik saat ini maupun yang akan datang, setidaknya tulisan-tulisanku menjadi “saksi” keberadaanku di dunia…^-^
Kembali ke sms yang akau terima pagi itu, kebetulan hari itu pun seharian mendung, seolah-olah menggambarkan keadaan diriku yang lagi mendung. Hal ini sempat akau sampaikan ke teman-teman, diantaranya Kori, Ririn, Dwi. Hari itu kalau tidak salah, hari selasa 12 Oktober 2004, aku kurang bersemangat, bahkan bisa dibilang bulan Oktober ini aku mulai kurang semangat, seperti ada yang lain pada diriku. Aku minta maaf pada teman-teman karena tidak memberi tahu mereka tentang keadaanku. Apa memang tidak terlihat ya?
Sebenarnya aku mau curhat sama teman-teman, tapi aku mengurungkan niat ku ini, karena aku melihat teman-temanku sudah punya masalah mereka masing-masing, aku tidak mau menambah “beban” teman-teman. Tapi, sebenarnya aku hampir cerita pada Kori, saat itu kita sedang ngobrol dengan Bang Jeff di belakang mess malamnya, tapi gak jadi, terus waktu aku ngajak beli Ring-ring Card hari Rabu Malam, yang pulangnya aku makan sendirian di Kedai Ajo, saat itu ada Reni, kalau saja Reni duduk menemaniku, mungkin aku akan cerita padanya J. Saat itu juga ada Kori dan Dwi lagi sibuk OT (Lembur), nggak enak juga mau ngobrol di office saat mereka lagi kerja. Sebenarnya kelihatan kalau aku saat itu lagi sering termenung sendiri. Akhirnya aku putuskan untuk pergi jalan sendiri menikmati hembusan angina malam, dan menikmati setiap langkahku, sambil berdo`a agar tidak terjadi apa-apa seperti yang kurasakan saat itu.
Hari Kamis, 15 Oktober 2004, seperti biasa kerja, karena malamnya adalah Shalat Tarawih pertama, tanda besoknya kita mulai menjalani Puasa pertama di bulan Ramadhan. Waktunya pulang kerja, aku langsung Punch Clock (Cek Absen). Saat itu aku masih sempat ke warnet untuk kirim email. Di Email tersebut aku minta tolong teman di
Malam itu (Kamis), tidak ada perasaan apa-apa, Cuma sedikit bersemangat, karena mau tarawehan bersama-sama teman di Surau dekat rumah/tempat kerja, karena itu moment langka selama aku berada di
Sesudahnya kami pulang. Setelah sampai, aku langsung ke bilik, kalau nggak salah, aku langsung lihat Hp, disitu ada pesan untukku. Sebelum membacanya, jantungku sudah berdebar-debar, bersiap-siap menerima kabar dari Palembang Makanya aku tidak terlalu shock membaca sms tersebut, yang ternyata isinya “ Kak Rudy, Ayah meninggal ……”, aku sempat tertegun, begitu baca kata meninggal, aku langsung mengucap “Innalillaahi Wainna Ilaihi Roji`un”, kubaca lagi dengan seksama, ya betul nggak salah. Ku coba menerima takdir ini, berusaha untuk ikhlash dan tenang.
Lalu yang terpikir saat itu adalah Ring-ring Card, aq mesti telepon ke
Dari samping belakang rumah aku menuju ke dean, di ruang tengah aku bertemu dengan Kori dan Bibi. Aku lihat Kori sedih sekali sampai matanya berkaca-kaca, seakan ikut merasakan perasaanku saat itu, mereka berusaha menenangkan aku, aku pun berusaha menenangkan Kori. Entah apa ini bawaan sifatku atau apa, aku bisa tenang seperti tidak terjadi apa-apa, mungkin karena ku sudah mengikhlashkan takdir ini. Lagian ku emang mesti tenang agar bisa berpikir dan memikirkan langkah ku selanjutnya apa, karena waktu terus berjalan. Ku harus menemukan jalan keluar buat pulang ke
Setelah itu, kuberanikan langkahku menghampiri Bang Tilang, yang saat itu sedang ngobrol dengan rekannya. Kemudian ku duduk dan mulai membicarakan masalah kepulanganku. Saat itu juga ku mendengarkan penjelasan Bang Tilang. Ternyata masalahnya cukup kompleks juga. Setelah beberapa jam membahas masalah kepulanganku termasuk cara bagaimana teknis kepulanganku. Jadi, aku disarankan kalau sehabis sahur langsung berangkat naik pesawat untuk keberangkatan jam 7 pagi. Bang Tilang juga menyuruhku untuk musyawarah dengan teman-teman, bagaimana baiknya , apa tetap mau pulang besok hari nya atau tunda 1 hari untuk mengurus Visa, agar aku bisa kembali lagi ke
Teman-temanku pun tampaknya tanpa sepengetahuanku mereka memberi kabar pada teman-teman di
Setelah ngobrol dengan Bang Tilang, seperti sarannya tadi, ku dan teman-teman berkumpul di bilik kami. Akhirnya ku tetapkan aku mesti pulang, soal bagaimana nanti di Palembang, aku serahkan semuanya pada Allah, yang penting bagaimana ku bisa sampai tepat pada waktunya, sehingga aku masih sempat untuk menshalatkan dan menguburkan Alm. Ayahku. Dibantu oleh teman-teman, aku mulai berbenah dan berkemas. Andre pun meminjamkan tas nya untukku, tas tersebut sangat memudahkan aku dalam perjalanan nanti. Aku berterima kasih mereka mau menghiburku, sampai-samapai mereka tahan ngak tidur, padahal hari sudah dini hari dan sebentar lagi mau sahur untuk puasa hari pertama.
Setelah kami semua makan sahur, aku dipanggil Bang Tilang, Beliau menanyakan keputusanku. Aku utarakan keputusanku untuk pulang hari ini. Akhirnya abang menyuruhku untuk siap-siap fajar ini juga ke KLIA (
Jujur saja aku sempat bingung, bagaimana tidak bingung, aku belum pernah naik pesawat sekali pun. Udah gitu jalurnya jauh pula, antar bangsa. Kalu tidak mikir mau ketemu Alm. Ayah buat terakhir kali, nggak tahu jadi nya gimana. “Petunjuk” yang diberikan Bang Tilang, jujur aku masih bingung, namun aku hanya berdo`a dan tawakkal, aku mohon Alah memudahkan dan menolong perjalananku ini selamat sampai tujuan. Sambil membuka mata dan telingaku, aku berusaha mengamati orang-orang di bandara. Di saat mau mengantri, aku membaca setiap tulisan yang bisa dijadikan petunjuk, akhirnya aku ke kaunter 39, karena aku baca ada “ASEAN” nya, lalu aku lihat orang-orang yang ada di antrian kaunter tersebut memegang Passport Indonesia (Hijau), meski cukup panjang, aku ikut antri, sambil mengamati lagi, apa langkahku sudah benar. Aku nyaris diam sepanjang antrian, tidak ada usah betanya-tanya. Aku merasa belum perlu menggunakannya. Akhirnya tiba giliranku, aku nggak tahu apa yang mesti diserahkan ke petugas imigrasi, kuserahkan aja semua, passport dan tiketku, lalu petugas itu melakukan tugasnya, aku berdo`a semoga ngak ada masalah, aku milih diam saja sambil berusaha tetap tenang, petugas sempat bertanya apa aku akan kembali lagi, kujawab aja singkat “Tidak”, akhirnya petugas memberi cap stempel pada passportku, lalu memberikannya padaku, aku pun lalu masuk, sambil menoleh ke belakang. Ku lihat Kori melambaikan tangan, sesuai “petunjuk” aku pun ikut melambaikan tangan, tanda aku sudah “bebas” dari urusan imigrasi.
Tanpa berlama-lama lagi aku langsung berjalan meski belum tahu arah mana yang mesti ku tuju, alhamdulilah, ku dengar suara petunjuk dari petugas bandara kemana aku harus menuju pesawat yang bakal ku naiki nanti, sector G2, tepat sebelah kanan, seperti yang dikatakan Bang Tilang. Mataku terus mengamati dimana letak G2 tersebut. Akhirnya kutemukan Kaunter G2, di sana sudah “menunggu” petugas security, kuamati orang-orang di sana (tentu saja dengan cepat), lalu aku melakukan seperti yang mereka lakukan, kebetulan yang ku bawa tinggal tas pinggang, 2 tas yang lain sudah dimasukkan kargo. Kalau tidak salah Cuma aku yang menjalani 2 kali pemeriksaan. Biasanya begitu masuk pintu detector langsung ambil barang yang diperiksa di detector barang. Namun, saat itu aku diminta untuk diperiksa oleh petugas di samping depan pintu detector tadi, petugas tersebut memeriksa “tubuhku” dari luar sampai ke kaki, topi yang kupakai diminta untuk dilepas, lalu kantong kiriku yang keliahatan “gemuk” diminta untuk dikeluarkan isinya, yang Cuma handuk kecil. Mungkin petugas tersebut perlu menyakinkan saja, soalnya face ku seperti orang Arab dengan jenggot kebetulan agak sedikit panjang karena belum sempat di cukur J ditambah lagi aku pakai celana panjang yang banyak kantong di kiri dan kanannya J Namun, aku merasa masih wajar-wajar saja koq, mereka masih sopan, mereka hanya menjalankan tugas saja.
Selanjutnya setelah pemeriksaan tersebut (tidak terlalu lama), aku mengambil tas pinggangku, alhamdulillah lulus sensor. Lalu aku menuruni tangga escalator, di bawah tempat menunggu menunggu sebelum berangkat, tempatnya cukup luas, sejuk, ada TV dan dindingnya dari kaca, sehingga aku bisa lihat pemandangan KLIA waktu fajar hinga matahari mulai menyingsing. Sejauh ini, sikapku terlihat tenang-tenang saja, seperti orang yang sudah pengalaman saja, padahal ini pengalaman pertamaku, alhamdulillah Allah memudahkan semuanya. Sambil berjalan memasuki tempat menunggu tersebut, mataku langsung dengan cepat mengamati, aku langsung dapat informasi di mana tandasnya (WC)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar