Selasa, 28 Oktober 2008

Buat Anak kok Coba-coba???

Pernah lihat salah satu iklan di TV, yang memakai kalimat ini “Buat Anak kok Coba-coba“, ana melihat apa yang dilakukan oleh sebagian remaja, khususnya remaja di kota-kota besar, tidaklah jauh berbeda dengan kalimat di atas, dan ironinya lagi adalah yang melakukannya adalah remaja Islam, nauzubillah. Mereka melakukannya seperti akan membeli sepatu atau pakaian, yang jika pas baru dibeli, kalo gak ‘dicampakkan’. Akibatnya adalah yang menanggung derita adalah kaum perempuan, yang mestinya harus menjaga dan dijaga kehormatannya. Kehamilan yang tidak dinginkan, AIDS, penyakit kelamin, dan seabreg masalah lainnya memang bisa timbul dari hubungan seks pra-nikah. Herannya, masalah kayak gini tetap saja sering dialami para remaja yang sedang “semangat-semangat”nya berpacaran. Memangnya, susah ya pacaran nggak pake “acara” gitu-gituan ?.

Banyak faktor pendorong terjadinya seks pra-nikah. Perasaan cinta yang terlalu dalam, pengikat hubungan dan rencana pernikahan dalam waktu dekat, bisa menjadi alasan. Termasuk pula pengaruh kebudayaan dan informasi global yang ‘disponsori’ oleh kaum zionis untuk menghancurkan akhlaq, khususnya remaja Islam.

Mungkin untuk mereka yang sudah “kecemplung” melakukannya, ada kiat-kiat untuk menghindari bahaya-bahaya seperti diatas. Namun, untuk mereka yang belum, sangat perlu buat melengkapi diri dengan “jurus-jurus” jitu.

Menurut penelitian hubungan intim semasa pacaran lebih disebabkan keinginan pihak pria. Nah, si pria yang diasumsikan secara general lebih aktif, dominan dan banyak maunya, mendorong si wanita dengan berbagai usaha untuk setuju ber”intim” ria. Gayung bersambut, wanita dengan segala kepasrahannya akhirnya mau juga – atau memang ada yang sudah menunggu-menunggu hal tsb ? –untuk “membuktikan” cintanya dengan menyerahkan ‘tahta’nya. Tampaknya memang jender sekali, tapi begitulah penelitian itu menyebutkan.

Berani Bilang ‘ Tidak ‘

Lebih jauh, pacaran sebenarnya adalah tahap penjajakan yang belum tentu berakhir dengan pernikahan. Dalam fase tersebut, tidak menyertakan ke’intiman’ dengan alasan moral, resiko kesehatan sebagai tanda sehatnya hubungan pacaran, apalagi jika dikaitkan dengan masalah keimanan, jauh sekali penerapannya.

Untuk mengantisipasinya, komitmen adalah hal yang utama. Kalau dari awal-awal jadian pasangan tersebut menyetujui tidak akan neko-neko dan ‘macem-macem’, salah satu pihak bisa komplain kalau kemudian hari ada yang melanggar ‘aturan main’, jika itu masih juga terjadi, kayaknya hubungan itu perlu ditinjau lebih jauh lagi, daripada nanti ‘kebablasan’, yang ujung-ujungnya mendatangkan penyesalan yang tiada arti lagi. Think it !.

Dari hasil penelitian pun menunjukkan bahwa ‘jurus’ bilang ‘Tidak’ dengan alasan ‘itu dosa besar’ cukup ampuh. Soalnya, bilang takut hamil kan sudah ada alat pengaman –meskipun belum tentu juga aman-,. Bilang takut kena penyakit, kan sudah ada obatnya dan sebagainya. Biasanya, pria bakal berpikir tujuh kali untuk mengajak pasangannya berasyik-masyuk kalau dingatkan akan dosa.

Melihat fenomena di atas, maka tidak lah salah dan berlebihan –dan sudah seharusnya kita tidak menyalahkan mereka - jika kita melihat ada sebagian orang atau kelompok yang bahkan sudah mengharamkan tentang tidak bolehnya pacaran. Jika kita mau melihat dari sudut pandang mereka, maka kita akan melihat bahwa setidaknya mereka memiliki alasan kuat untuk melakukannya dan sepertinya sesuai dengan penelitian tadi, bahwa faktor dosa tadi merupakan salah satu hal yang menyebabkan mereka memilih tidak berpacaran. Dengan tidak berpacaran berarti mereka telah ‘memotong’ banyak mata rantai yang menyebabkan atau yang menjadi faktor penyebab terjadinya hal-hal yang tidak dinginkan dalam pacaran. Selain itu, mungkin mereka melakukannya karena mereka hanya berusaha untuk berhati-hati. Berhati-hati terhadap hal-hal yang akan merusak diri dan keimanan mereka, mungkin mereka menyadari akan kemampuan diri mereka, jadi jika mereka berpacaran, dikhawatirkan akan merusak diri dan keimanan mereka, dari situlah mereka akhirnya memilih untuk tidak berpacaran.

Mungkin ada yang bertanya, “ bagaimana menurut pendapat ana sendiri tentang pacaran ?”. Dalam hal ini ana memilih jalur ana sendiri tanpa ‘mengikuti’ kedua kutub yang saling bersebrangan tersebut, tapi perlu ana tekankan sekali bahwa jalan tengah yang ana pilih ini bukan berarti jalan yang terbaik, benar, dan sesuai dengan ajaran Islam. Jadi, jalan yang ana pilih ini setidaknya meminimalisir dosa yang ditimbulkan dari pacaran. Intinya, ana memilih jalur Pacaran Bersyarat. Artinya jika ana mau pacaran ana harus memenuhi syarat-syarat yang ana buat, jika ana bisa memenuhinya, maka ana boleh berpacaran, namun jika tidak, maka ana memilih untuk tidak dulu berpacaran, sampai ana bisa memenuhinya. Jadi ana harus berpikir dulu apa niat ana untuk berpacaran. Simple kan ?. (Baca : Cinta, Obsesi, atau Nafsu ?)

Memang, sebenarnya masih banyak yang bisa digali dan dipertanyakan mengenai keabsahan penelitian tersebut. Namun, untuk satu hal kita sepakat bahwa ke’intiman’ dalam pacaran haruslah dibatasi untuk mencegah hal yang tidak dingini, dan hal-hal yang dilarang oleh agama kita. Betul ? (Ary-PP)

Tidak ada komentar: